Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Perppu perlindungan anak.
Penanganan kejahatan seksual pada anak harus dengan cara luar biasa,
demikian cuitan Presiden Jokowi di akun twitter-nya, @jokowi pada Rabu
(25/5).
Sore harinya Presiden mengadakan jumpa pers menjelaskan alasan
penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)
tersebut.
Presiden menilai perlu penanganan luar biasa untuk mengatasi
maraknya kejahatan seksual terhadap anak. Kejahatan ini, bukan hanya
mengganggu ketertiban umum, tetapi juga merusak masa depan, sehingga
layak dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.
Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan
hukuman pemberatan bagi pelaku kekerasan seksual serta hukuman tambahan
termasuk kebiri kimia yang menekan nafsu seksual para terpidana.
Perppu ini diterbitkan karena semakin meningkatnya kasus kejahatan
seksual terhadap anak secara signifikan. Presiden menilai tindak
kejahatan seksual mengancam dan membahayakan jiwa anak, serta merusak
kehidupan pribadi dan tumbuh kembang di masa depan. "Kejahatan seksual
terhadap anak telah saya nyatakan sebagai kejahatan luar biasa," kata
Presiden.
Perppu ini mengatur pemberatan hukuman pidana, pidana tambahan, dan
tindakan lain bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan
persyaratan tertentu.
Pemberatan pidana berupa tambahan 1/3 dari ancaman pidana, dipidana
mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan
paling lama 20 tahun.
Selain itu, dalam Perppu diatur pidana tambahan berbentuk
pengumuman identitas pelaku serta tindakan berupa kebiri kimia dan
pemasangan alat deteksi elektronik.
Kasus Yuyun (14), pelajar SMP di Rejang Lebong, Bengkulu, yang
ditemukan tewas tanpa busana di dalam jurang, Selasa (5/4), dapat
dijadikan cermin betapa sadisnya perlakuan terhadap korban pemerkosaan.
Kematian Yuyun semula dimuat beberapa situs berita lokal Bengkulu.
Lalu, terungkap Yuyun terlebih dahulu diperkosa 14 pemuda kampung,
diikat, kemudian dilempar ke jurang. Penyelidikan mengungkapkan bahwa
pemerkosa terlebih dahulu menenggak minuman keras, tuak. Dan mirisnya,
dari 14 pelaku, dua di antaranya kakak kelas korban.
Pertanyaannya, hukuman apa yang pantas bagi penjahat seperti ini.
Hukum Indonesia akan mengganjar pelaku dengan 15 tahun penjara.
Setimpalkah hukuman itu?
Setimpalkah hukuman itu dijatuhkan kepada pemerkosa yang menyiksa dan membunuh korban, kemudian membuangnya ke jurang?
Sistem hukum positif Indonesia menyerahkan putusan kepada hakim di pengadilan, bukan kepada korban atau keluarga korban.
Mungkin, novel A Time to Kill, John Grisham, bisa dijadikan
pelajaran. Diungkapkan bagaimana perasaan orang tua dan hati masyarakat,
yang diwakili dewan juri, ketika Tonya (10), gadis kecil berkulit hitam
di sebuah dusun di Mississippi, diperkosa, digantung dan dibuang ke
sungai.
Carl Lee Hailey, bapak Tonya, membunuh dua pemuda kulit putih,
pemerkosa, itu di dalam gedung pengadilan, jelang sidang. Kasusnya jadi
beralih, dari pemerkosaan dan percobaan pembunuhan menjadi pembunuhan
dua pemuda kulit putih oleh orang kulit hitam.
Saksi didengarkan silih berganti. Saksi yang meringankan sekali pun
ternyata tidak menguntungkan Hailey. Jadi tak heran juri --semua kulit
putih-- hingga jelang putusan pengadilan menilai Hailey bersalah.
Pada penyampaian argumen terakhir, Jake Brigance, pengacara Hailey,
meminta juri untuk memejamkan mata. Pengacara muda berputeri satu itu
lalu meminta mereka membayangkan seorang gadis kecil diperkosa, disiksa
dengan lemparan kaleng bir, kulit koyak, tulang terbuka, dikencingi,
digantung, dahan pohon patah tak kuat menahan tubuh kecil ketika
tersentak, urung mati, lalu kedua pemerkosa melemparkannya ke sungai.
"Bayangkan, gadis itu berkulit putih," ujar Brigance, mengejutkan
semua juri dan hadirin di pengadilan. Sistem pengadilan di Amerika
Serikat menjadikan juri sebagai penentu salah tidaknya seorang terdakwa.
Juri dianggap mewakili nilai-nilai di dalam masyarakat. Argumen
Brigance menarik simpati juri dan memutuskan Hailey tidak bersalah.
Keadilan, jika ditempatkan kepada korban atau keluarga korban akan
terasa proporsional karena sesungguhnya korban dan keluarga korbanlah
yang merasakan dampak langsung dari pemerkosaan.
Di Indonesia, atas nama hak asasi manusia, sebagian kalangan
menempatkan keadilan kepada pelaku. Meski perppu sudah ditandatangani,
masih ada yang menilai kebiri kimia tidak adil, apa lagi jika pelaku
dihukum mati.
Mereka berdalih, hanya Tuhan yang memiliki hak untuk mencabut nyawa
seseorang. Mereka tidak peduli ketika pelaku kejahatan menyiksa,
membuat kerusakan, hingga mencabut nyawa korban, langsung maupun tak
langsung, terjadi di tengah masyarakat. Kepedulian kepada pelaku
kejahatan mengaburkan hak-hak korban dan masyarakat untuk mendapat
keadilan.
Pada agama tertentu, pembunuhan diganjar dengan hukuman mati dan
hak itu milik keluarga korban. Jika, keluarga korban memaafkan maka
pelaku wajib memberi ganti rugi dengan nilai tertentu.
Keadilan di Indonesia milik hakim dan kelompok tertentu yang lebih
mementingkan hak pelaku daripada hak korban. Jika, logika Brigance
diberlakukan, apakah pembelaan hak pelaku bisa menerima jika yang
diperkosa dan dibunuh dengan dilemparkan ke jurang itu anak mereka,
bukan Yuyun?
Mungkin mereka akan lebih ganas daripada Carl Lee Hailey. Tidak
sekadar membunuh, mungkin juga mencincang pemerkosa. Karena itu, para
penegak hukum dan pembela hak-hak pemerkosa, bayangkan jika yang
diperkosa dan dibunuh itu anak atau saudara Anda.
Sumber : Antara
Hak Korban Seksual Anak Harus Di Penuhi
Written By tpq-rm.blogspot.com on Senin, 30 Mei 2016 | 20:30
Label:
Hukum,
Pendidikan
