“Jika
seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara
(yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang sholeh”
(HR. Muslim no. 1631)
Di
ibaratkan suatu benda, anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya. Ia
laksana emas permata yang berkilau yang akan menjadi indah pada waktunya, jika
orang tua, lingkungan dan pendidikan itu tidak salah mendidik, mengasuh, membimbing dan
mengarahkan potensi yang ada dalam diri anak. Namun dalam perkembangannya anak
bisa menjadi malapetaka yang hanya mmbuat hati orang tua hancur
berkeping-keping, sehingga perlu evaluasi dan renungan diri bagi orang tua
dalam mendidik anak-anaknya.
Tuhan
yang maha kuasa menciptakan segala sesuatu dimuka bumi tidak ada yang sia-sia,
apalagi mencipta produk gagal, seluruhnya tidak ada yang gagal, ketika kita
memaknai bahwa setiap yang tercipta di muka bumi, tentu memiliki manfaat
walaupun hanya sepeti debu besarannya. Makhluk yang tercipta itu bisa menjadi
contoh dan pemebelajaran bagi manusia, bahkan setiap kejadian yang ada dimuka
bumi ini bisa menjadi pendidikan dan bahan renungan bagi kita, selama pikiran
sehat kita berfungsi sebagaimana mestinya.
Kembali
pada persoalan anak yang lahir ditengah-tengah kehidupan kita, hakekatnya
adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan yang maha kuasa, ia adalah
titipan sang Ilahi untuk diasah, diasuh, dan diasih supaya menjadi manusia yang
memiliki jiwa pemberani, jiwa yang jujur, jiwa yang amanah, dan jiwa yang
responsive terhadap persoalan-persoalan social yang ada disekitarnya.
Maka
sesungguhnya anak adalah investasi jangka panjang, anak adalah investasi seumur
hidup, bahkan sampai pada kehidupan selanjutnya, yakni kehidupan alam akhirat,
menjadi penting bagi orang tua untuk mendidik putra-putrinya menjadi anak-anak
yang sholeh dan sholehah.
Bagaimana
sesungguhnya peran pendidikan dan sekolah, terutama dinegara kita dengan
kebijakan pemerintah, berkaitan dengan kurikulum, yang masih menggunakan
psiko-kognitif sebagai standarisasi dengan melakukan test kemampuan seorang
anak diukur oleh try out, ujian sekolah ataupun ujian nasional, sementara
masing-masing anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda satu sama lain, bahkan
anak-anak kita adalah anak yang cerdas, anak yang pintar, anak-anak yang harus
dipersiapkan untuk berkompetisi dalam kehidupan sosial-masyarakat.
Menurut
Munif Chatib, (Penulis Best Seller; Gurunya Manusia dan Sekolahnya Manusia)
ini, selama orde baru dan reformasi,
sistem pendidikan kita masih menitik beratkan pada kognitif dalam arti sempit,
bukan kognitif dalam arti luas, hasil proses pembelajaran masih diwakili oleh
tes standar di akhir tahun.
Para
pendidik, sekolah atau instansi apapun sudah saatnya menggunakan standarisasi
kemampuan sesorang dari 3 ranah untuk dicermati, pertama setiap anak memiliki kemampuan pada aspek psiko-afektif,
yakni adalah respon, jika tidak ada respon, maka seorang anak tidak tertantang
untuk mempelajari sesuatu. Kedua
psiko-motorik, ini menunjukkan bahwa anak memiliki kemampuan untuk menampilkan
“performance”, dan kreativitasnya untuk menunjukkan potensi yang dimiliki. Ketiga dari dua hal tersebut diatas
harus ditunjang oleh kampuan kognitif sebagai pintu keluar dari problem yang
dimiliki oleh seorang anak.
Oleh
karena itu sekecil apapun sesuatu yang dimiliki oleh seorang anak, patut untuk
kita hargai keberadaannya, karena sesungguhnya Tuhan tidak menciptakan segala
sesuatu itu adalah kesia-sia-an belaka.
Didiklah Anakmu Dengan Cinta dan
Kasih Sayang
Setiap
makhluk memiliki cinta dan kasih sayang sesuai dengan insting dan nalurinya
masing-masing, begitu pula manusia yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan paling
sempurna sudah dibekali akal pikiran untuk digunakan sebagai fitroh dari sang
Ilahi.
Cinta
dan kasih sayang merupakan pancaran hati manusia sebagai wujud tangan panjang
kasih-Nya. Anak merupakan hasil dari cinta kasih orang tua, sehingga ia
terlahir ke dunia ini atas segala kehendak-Nya, maka cinta kasih itu harus
ditanamkan sejak ia masih dalam kandungan sang ibu, maka tidak heran kemudian
ketika sang ibu masih mengandung anaknya, ia dibacakan ayat-ayat suci, di
doakan, sebagai bentuk rasa cinta dan kasih sayang mendalam dari orang tua.
Apa
yang kau tuai hari ini, sesungguhnya merupakan tanaman pikiran dan cinta kasih
sayang sebelumnya. Seorang guru secara implementatif sudah harus mengajar anak
didiknya dengan cinta dan kasih sayang, tanpa harus membeda-bedakan atau
membuat kelas-kelas antara anak yang pendiam, anak nakal, anak yang sering usil
ataupun anak-anak yang berbeda latar belakang secara sosio-kulutural, karna
anak adalah harta yang sangat berharga, yang tidak bisa dibandingkan oleh harta
dan benda apapun di muka bumi ini.
Potensi
seorang anak sangat luas, bahkan melebihi luasnya samudra dijagad raya ini, ia
memiliki kemampuan psiko-kognitif, psiko-motorik, dan psiko-afektif untuk terus
dikembangkan dan diasah sedemikian rupa dengan cinta dan kasih sayang.
Keluarga
adalah sekolah yang memayungi perkembangan, pertumbuhan dari seorang anak,
bapak dan ibu adalah guru pertama bagi mereka, dan mereka senantiasa akan
melihat, mendengar, serta meniru apa yang menjadi keseharian dari kedua orang
tuanya, disitulah anak mulai belajar berkomunikasi, belajar bergerak, menjiplak
apa yang diucapkan, menjiplak apa yang digerakkan, sehingga berhati-hatilah
bagi orang tua memberikan contoh terhadap anak-anaknya.
Secara
umum anak dengan tingkat kenakalan yang berbeda dari anak-anak yang lain,
hakekatnya memiliki potensi yang lebih. Bentuk kenakalan merupakan ekplorasi
dari cara mendengar, melihat, dan berpikir menjadi sebuah tindakan yang
kadangkala sulit dipahami oleh orang tua mereka. Sebagai titipan dari yang maha
kuasa, orang tua berkewajiban mendidik, menafkahi, mengarahkan, membimbing,
serta terus memantau proses pertumbuhan sang anak, baik dalam aspek psikis dan
fisiknya.
Orang
tua memiliki peran ganda dalam mendidik anaknya, disamping harus membiayai
kehidupan sehari-harinya, juga harus membiayai pendidikannya, namun yang paling
penting sebagai orang tua adalah menanamkan nilai-nilai positif dalam diri
seorang anak, sehingga anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi paripurna. Sekolah merupakan
lembaga kedua setelah keluarga, melanjutkan pendidikan anak secara formalitas
dengan ketentuan-ketentuan sesuai dengan kurikulum yang diterapkan oleh
pemerintah, artinya sekolah tidak bisa kemudian menjamin sepenuhnya untuk
menggali potensi anak, karena ada proses pemberlakuan secara linear dan
bersifat sama.
Di
era globalisasi ini, kerapkali terjadi kekerasan di sekolah, baik kekerasan
fisik maupun psikis, hal ini menjadi bahan evaluasi dan renungan bagi orang
tua, bahwa sekolah hakekatnya adalah tempat belajar, bukan tempat tawuran dan
kekerasan lainnya bagi anak-anak. Pemberitaan berkaitan dengan pembunuhan terhadap
siswa atau siswi, hamil di luar nikah, serta kekerasan lainnya, membuat hati
orang tua semakin hancur, bahkan dampak pemberitaan tersebut menjadikan psikis
orang tua semakin dilematis akibat ulah anaknya dan oknum dalam dunia
pendidikan, artinya sudah banyak disekolah-sekolah yang telah membunuh hati
nurani, terlepas apakah itu guru ataupun oknum disekolah itu.
Tidak
banyak guru dan orang tua yang mengajar dan mendidik putra-putrinya dengan
hati, cinta, dan kasih-sayang, karena itu bukanlah persoalan yang mudah. Guru
ataupun orang tua harus memiliki kesabaran, ketenangan, dan mengayomi
anak-anaknya untuk menjadi apa yang mereka harapkan, bukan lantas memaksakan
kehendak orang tua dan guru, sehingga mendiskreditkan kemampuan anak-anak,
disinilah harus ada kesamaan paradiqma baik orang tua, wali murid, dan murid
itu sendiri.
Didiklah Anakmu Menjadi Berarti
Anak
sudah terlahir sebagai seorang pemenang dalam kompetisi panjang, semenjak ia
masih dalam kondisi nutfah (setetes air mani). Pertarungan benih itu untuk
menjadi anak manusia, laksana perang ditengah samudra, namun hanya satu yang
menjadi juaranya, yakni adalah anak-anak yang dikehendaki oleh Tuhan maha kuasa
untuk menjadi manusia.
Allah Swt. berfirman, “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian, Kami menjadikannya air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu
yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging…”
(QS Al-Mu’minun,23:12-14)
Ribuan
bahkan jutaan benih yang akan masuk dalam tempat yang kokoh itu (rahim), saling
berebut satu sama lain, namun hanya satu yang dikehendaki untuk menjadi manusia
sebagai seorang hamba, wakil Tuhan di muka bumi, sebagai makhluk biologis, sebagai
makhluk ruhaniah, sebagai makhluk seosial, dan paling penting adalah sebagai
seorang yang memiliki manfaat untuk menjadi seorang pemimpin bagi dirinya,
keluarga, dan masyarakat sekitarnya.
Dari
sinilah muncul beragam teori tentang pendidikan dan sistem pembelajaran bagi
anak didik, namun yang paling fundamental adalah anak sebagai generasi penerus
harus mendapatkan penghargaan yang baik, mendapatkan pengakuan atas segala
bentuk kreativitasnya, dan mendapatkan pembelajaran yang berarti dari orang-orang
sebelumnya, termasuk guru dan orang tua.
Anak
merupakan investasi yang tidak terhingga keberadaannya dimuka bumi ini, ia
adalah investasi yang tidak pernah putus, terutama kepada orang tuanya,
bagaimana anak-anak yang terlahir kemuka bumi ini dipersiapkan bekal
secukupnya, terutama ilmu pengetahuan sebagai warisan yang tiada habisnya.
Sudah sangat jelas apa yang disabdakan oleh Rosul, bahwa akan putus amal
seseorang, kecuali tiga perkara, yakni, amal
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak-anak sholeh yang terus menerus akan
mendoakan kedua orang tuanya. Inilah yang kami sebut, bahwa anak merupakan
salah satu investasi akhirat, yang sangat berharga keberadaannya di muka bumi
ini, maka didiklah anak-anakmu menjadi berarti dan dihargai segala bentuk
kreativitasnya selama berada dalam koridor yang positif.
Orang tua memiliki
peran yang cukup besar terhadap pertumbuhan, perkembangan diri seorang anak,
serta pendidikannya merupakan tanggung jawab yang wajib dipenuhi oleh orang tua
untuk masa depan anak-anak mereka, sehingga orang tua harus memiliki visi dan
tujuan yang jelas bagi kehidupan anak-anaknya untuk kemudian hari. Hakekatnya
orang tua sebagai penyambung sekaligus pendorong keinginan, cita-cita seorang
anak untuk menggapai harapan-harapannya, untuk menjadi apa yang di inginkan
oleh seorang anak, oleh sebab itu orang tua harus memberikan kemerdekaan yang
seluas-luasnya kepada putra-putrinya untuk menjadi apa yang dikehendaki, dengan
tidak melepas sepnuhnya, dengan control yang menjadi pengendali, sehingga anak
tidak terjerumus pada jalan yang menyesatkan.