Melihat fenomena yang
terjadi baru-baru ini sebenarnya cukup miris dengan adanya pemaksaan pembubaran
acara yang dilakukan oleh salah satu ormas GP Ansor dengan menggunakan kekuatan
Banser untuk membubarkan acara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang di anggap
“menolak atau melawan” Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
“NKRI Harga Mati” ini jargon sebagai bentuk kecintaan kita
kepada bangsa dan Negara ini, bahwa Indonesia dengan asas Pancasila sebagai
Ideologi, dan UUD 1945 merupakan manifestasi dari perundang-undangan di Indonesia, substasni yang melekat kepada
seluruh warga Negara Indonesia, dimanapun mereka berada, seperti sel dalam
tubuh kita, bahwa NKRI sudah final dan melekat kepada warganya.
Berbagai macam
persoalan terjadi akibat dari gesekan sosio-kultural yang memiliki perbedaan
yang cukup tajam, sehingga mengarah kepada jsutifikasi buta, tanpa melihat
persoalan dengan pikiran dan hati jernih.
Sudah bisa kita pahami
bahwa Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk, dengan konsepsi Bhineka
Tunggal Ika, berbeda-beda, tapi tetap satu, terhimpun dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), sebagai kesatuan sistem yang integral.
Fenomena penolakan,
sekaligus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap sebagai makar
atau musuh bangsa ini, karena di anggap “menolak” Pancasila sebagai Ideologi
Negara Republik Indonesia masih dalam koridor kerancuan, Mengapa demikian?
Karena HTI di anggap telah meresahkan masyarakat dengan ajaran dan konsepsinya
tentang Khilafah. Apa sebenarnya Khilafah itu?
Khalifah
berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan Negara maupun urusan Agama.
Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat ataupun dengan
majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul
Halli wal Aqdi yakni para
ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan
mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai'at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Khalifah memimpin sebuah Khilafah, yaitu sebuah sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan
Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran, Hadist,
Ijma dan Qiyas. Sumber :
Dimana persoalan fundamental bahwa HTI dengan konsep
Khilafah, yakni menjadikan ummat muslim sebagai seorang pemimpin, dengan
menggunakan aturan main mengacu kepada Al-qur’an, Al-hadist, Ijma’ dan Qiyas
atau dengan mekanisme dan cara yang diyakini oleh mereka adalah yang terbaik
bagi Negara ini. Apakah ada bentuk baik secara fisik, pemikiran, dan konsep
menolak NKRI atau menolak Pancasila sebagai Ideologi Negara? Jika itu yang
terjadi, mengapa pula pemerintah pusat, dalam hal ini adalah kemenkumham yang
memiliki wewenang memberikan SK atau mengesahkan kepada organisasi masyarakat
yang bernama HTI berdiri di atas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mari kita lihat fenomena persoalan HTI ini secara objektif,
pikiran dan hati yang jernih, bukan melihat persoalan dengan subjektifitas yang
lantas kemudian ada bentuk tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar, sehingga justru
akan membuat kekacauan dan menjadikan masyarakat semakin bingung. Apakah ada
bentuk, baik secara tertulis maupun ajaran HTI yang kemudian terimplementasikan
dalam sebuah gerakan menolak Pancasila sebagai Ideologi bangsa ini? Kalaupun
ada apakah bisa dibuktikan dalam kehidupan nyata, bahwa HTI Menolak Pancasila?,
jika itu yang terjadi, sah-sah saja kita menuntut pemerintah untuk membubarkan
HTI sebagai organsasi terlarang.
HTI dengan konsep khilafah al islamiyah berupaya ikut
serta mengambil bagian ikut serta memperjuangkan nilai-nilai Islami dalam
konstek berbangsa dan bernegara, termasuk bercita-cita menghendaki Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, memakai sistem syariah dan berpedoman
Al-Qur’an dan Al-Hadist, tetapi problemnya bahwa NKRI terdiri dari masyarakat
majemuk baik soal keyakinan, suku, bahasa, dan sosio-kultural, sehingga Bhineka
Tunggal Ika menjadi payung yang menaungi perbedaan-perbedan dalam Kesatuan
Republic Indonesia.
Koruptor,
HTI, dan Pancasila
Fenomena pembuabaran
HTI menjadi isu sentral saat ini, khususnya di kabupaten Jember, dimana ketua
GP Ansor yang merupakan salah satu dari pimpinan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPRD) Jember, dengan kekuatan Bansernya mendesak pemerintah, dalam hal
ini adalah Bupati Jember untuk membubarkan HTI dengan tuduhan bahwa Ormas
berbasis Islam ini telah menolak Pancasila.
Sementara HTI yang berbasis
Islam dengan konsepsi Khilafah, dan sudah memiliki legalitas dari kemenkumham,
jelas memiliki kekuatan hukum untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang di yakini
kebenarannya sesuai dengan pedoman Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Apakah tidak lebih
kejam “Koruptor” menghisap darah rakyat secara tidak langsung, dengan
pergerakan yang massive, structural, dan konstitusional.
Disinilah peran
pemerintah, baik eksekutif, legislative, maupun yudikatif untuk terus berupaya
mencegah praktek-praktek korupsi yang sudah membudaya dan mengakar sampai pada
lapisan paling bawah, bahkan sudah membuat generasi baru yakni mengenai
cara-cara melakukan korupsi atau meraup keuntungan dengan memperkaya diri dan
kelompoknya masing-masing.
Para koruptor
hakekatnya telah melakukan penghianatan terhadap bangsa ini, bahkan lebih
ironis lagi, mereka sudah menginjak-injak nilai yang terkandung dalam
pancasila, sehingga perlu adanya pemahaman komprehensif, mengenai ajaran-ajaran
yang terkandung dalam pancasila sebagai asas tunggal bagi bangsa ini, sehingga
siapapun yang menolak Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya,
maka mereka pantas untuk mendapatkan sanksi seberat-beratnya.
Sudah sangat jelas
bahwa semboyan dari Bangsa Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda
tapi tetap satu, dengan prinsip dan nilai yang terkandung di dalam Pancasila
itu sendiri, perlu di telaah kembali dan direnungi bahwa nilai yang terkandung
di dalam Pancasila sudah sesuai dengan konstek kehidupan masyarakat Indonesia,
seperti yang kami kutip dari https//id.wikipedia.org, di bawah ini:
Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan,
dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila kelima yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, merupakan nilai universal tanpa tebang pilih, selama menjadi WNI,
maka keadilan social itu harus ditegakkan, sehingga berbagai persoalan yang
muncul mampu diselesaikan dengan cara musyawarah untuk menemukan titik temu
akar persoalan.
Keadilan Sosial ini dalam bentuk implementasinya memang tidak
semudah di ucapkan, karena manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan yang
tidak bisa dipungkiri, hanya dengan berpikir dan hati Jernih, berbagai problem
bisa disikapi dengan bijak untuk menemukan solusi dan cara mengatasinya.
Bersatu
kita teguh, bercerai-berai kita runtuh
Penulis tidak hendak
membela kelompok manapaun atau berpihak terhadap salah satu kelompok, namun
mari kita liha munculnya berbagai fenomoena yang terjadi belakangan ini dengan
hati dan pikiran jernih, sehingga akan menemukan titik temu akar persoalan yang
terjadi.
Beberapa elemen seperti
tokoh masyarakat dan IKA PMII mendesak dengan keras untuk membubarkan HTI dengan
alasan, HTI telah menolak Pancasila. Apakah itu semua benar? Tuduhan terhadap
HTI dengan mengatasnamakan NKRI harga mati, dan menolak Pancasila sebagai
tindakan makar!
Inilah yang kemudian
perlu diluruskan bersama-sama, demi menjaga keutuhan NKRI diatas
perbedaan-perbedaan prinsip, sehingga tidak asal menuduh dan menjustifikasi
kelompok sendiri paling benar, sementara kelompok yang lain salah dan keliru,
sehingga hanya akan menjadikan situasi dan kondisi semakin keruh, akibat dari
kepentingan-kepentingan suatu kelompok tertentu.
Pancasila dengan lima
asas dasar, UUD 1945 sebagai undang-undang yang mengatur seluruh elemen
kehidupan berbangsa dan bernegara, jelas mengamanahkan untuk tetap bersatu
dalam ruang perbedaan-perbedaan. Selama tidak keluar dari aturan yang telah
dijelaskan dalam UUD 1945, apa kemudian yang salah dan keliru terhadap konsep
khilafah? Apakah HTI benar-benar menentang Pancasila, UUD 1945, atau ingin
mendirikan Negara Islam di dalam NKRI? Ini kemudian menjadi kajian serius oleh
para tokoh dari berbagai elemen, baik tokoh agama, social-budaya, birokrasi,
dan para akademisi, sehingga menemukan titik terang dari permasalahan
perbedaan-perbedaan yang lantas menjadikan ruang tuduh-menuduh.
Bangsa ini direbut
dengan pertaruhan darah dan nyawa, The Founding Father, Soekarno sebagai
Presiden pertama di NKRI bersama para pejuang kemerdekaan lainnya telah
merusmuskan Pancasila sebagai Asas dan Ideologi Negara, yang terimplementasikan
dalam UUD 1945, sudah mengatur dengan jelas hidup berbangsa dan bernegara,
sehingga perbedaan menjadi hal lumrah, selama tidak menyakiti dan mengganggu
ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian HTI
dengan konsepsi Khilafah Al Islamiyah
yang menjadi keyakinannya, dengan berpedoman terhadap Al-Qur’an, Al-Hadist,
Ijma, dan Qiyas, bercita-cita ingin memiliki Negara dengan konsep
perundang-undangan secara Islami, karena tidak bisa kita pungkiri, bahwa
penduduk bangsa ini mayoritas terdiri dari masyarakat muslim, akan tetapi perlu
ditinjau ulang, bahwasanya masyarakat Indonesia juga memiliki keyakinan yang
lain, yakni Kristiani Protestan, Kristiani Katholik, Hindu, Budha, dan
Konghucu, dan masing-masing keyakinan tersebut sudah mendapat pengakuan dari
pemerintah sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Penulis adalah Team FGD