Home » » Ahok sang "Lenggaong"

Ahok sang "Lenggaong"

Written By tpq-rm.blogspot.com on Rabu, 20 April 2016 | 07:54

Lenggaong bagi masyarakat di Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan pada tahun 1945 adalah sebuah nama yang keramat, ditakuti, dibenci tetapi juga dicintai. Lenggaong merupakan salah satu peletak dasar gerakan revolusi sosial yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Tiga Daerah. 

Lenggaong  adalah gerombolan bandit-bandit revolusioner yang melawan pejabat-pejabat korup, dan menindas rakyat. Mereka tak segan membunuh dan merampok harta para penguasa untuk dibagikan ke rakyat. Munculnya lenggaong akibat perilaku menjijikkan para penguasa yang korup, kejam, amoral dan antek penjajah. 

Pertanyaannya apakah Ahok seorang pejabat yang korup, kejam dan antek asing atau aseng? seperti yang dituduhkan oleh lawan-lawan politiknya, ataukah Ahok ‘lenggaong’ yang  justru mengganyang pejabat-pejabat korup? Sejarawan Anton E Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah menyebutkan, kemunculan Lenggaong merupakan manifestasi kemarahan dan frustasi rakyat terhadap kondisi politik pasca kemerdekaan. Kondisi ekonomi yang amburadul, kelaparan dan pengangguran, memantik perlawanan rakyat terhadap penguasa lokal. 

Pengganyangan massal dilakukan rakyat kepada pejabat korup dari mulai Lurah, Wedana, sampai Bupati. Pengganyangan massal ini dikenal dengan istilah ‘dombreng’ yakni mempermalukan pejabat korup dengan cara mengarak dan menelanjanginya di jalanan. 

Salah satu tokoh lenggaong yang paling ditakuti dalam Peristiwa Tiga Daerah adalah Kutil, sosok revolusioner yang keras kepala, pemberani, bicaranya kasar, dan kejam tetapi dianggap sebagai juru selamat bagi rakyat yang teritindas. Lenggaong menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap penguasa lokal yang anti perubahan, korup dan memanipulasi hukum.

 Latar belakang Lenggaong yang berasal dari kampung, tidak berpendidikan dan tidak beretika justru menjadi sumber inspirasi rakyat untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya para penguasa yang tutur katanya lembut, selalu mengatasnamakan agama, dan mengandalkan gelar-gelar feodalnya justru mencuri hak-hak rakyat dan berlindung diketiak penjajah. Di era demokrasi saat ini, dimana rakyat bisa menyuarakan apa saja dan media social menjadi salah satu senjatanya, kemunculan lenggaong barangkali tidak relevan lagi. Sayangnya, pejabat korup, penegakan hukum yang lemah, dan kemiskinan  masih merajalela.

ayangkan, Indonesia yang memiliki 34 Provinsi, 416 Kabupaten dan 98 kota hanya bisa melahirkan Gubernur atau Walikota yang ‘layak’ memimpin tidak lebih dari 10 orang, inilah bentuk kegagalan bernegara yang sangat memprihatinkan. 

Kegagalan melahirkan pemimpin-pemimpin yang berpihak kepada rakyat tentunya akan melahirkan perlawanan baru, baik terhadap partai politik maupun penguasa. Sebaliknya rakyat akan mendukung pemimpin yang berpihak kepada rakyat, sekalipun pemimpin tersebut dianggap tidak beretika, kafir, gila dan kasar.   

Birokrat yang korup, kebijakan public tidak berpihak kepada rakyat, hukum belum menjadi panglima, dan merajalelanya penguasa-penguasa lokal (preman dan ormas) di Jakarta, mirip dengan kondisi saat Peristiwa Tiga Daerah terjadi. Oleh Pramoedya Ananta Toer, 57 tahun yang lalu Jakarta adalah kumpulan Dusun besar yang 25 % warganya belum bertindak sebagai bangsa merdeka, buang sampah di got, banjir tiap hujan, dan pendudukan tanah orang lain yang disadarinya bukan miliknya, kondisi tersebut masih terjadi saat ini.

Mengharapkan perubahan dari Partai Politik seperti menggantungkan nasib di tiang gantungan, mati sia-sia. Survey terakhir dari SMRC pada Januari 2016 menunjukkan, kepercayaan masyarakat terhadap Parpol terus menurun. 

Mengharapkan perubahan dari gerakan mahasiswa dan gerakan pro demokrasi juga bagai menunggu hujan salju turun di Jakarta, mungkin tapi entah kapan. Mahasiswa yang tidak membumi ke rakyat, lihat juga mantan aktivis yang sudah menjadi anggota dewan atau  pejabat, mereka lebih sibuk bersahut-sahutan tentang hasil pertandingan sepakbola di media social daripada menyuarakan kepentingan rakyat. 

Perubahan yang masuk akal saat ini adalah perubahan yang datang dari pemegang kekuasaan, tentunya yang tidak korup dan berpihak kepada rakyat. Ditangan para penguasa seperti Ahok di Jakarta, Ridwan Kamil di Bandung, Risma di Surabaya, Yoyok di Batang dan Nurdin Abdullah di Bantaeng adalah contoh dimana  perubahan bisa dinikmati oleh rakyat. Diantara penguasa daerah tersebut nama Ahok menjadi paling kontroversial dan radikal. Kontroversi Ahok bukan karena dia seorang Kristen atau Cina. 

Kontroversi Ahok terletak pada konsistensinya pada konstitusi, melawan siapapun yang bersikap rasis, memecat pejabat yang main mata dengan uang rakyat, tegas dan tak kenal kompromi kepada pelanggar hukum, kata-katanya keras dan terkadang kotor membuat telinga siapapun yang berlagak suci akan memerah. 

Seperti lenggaong, Ahok menjadi simbol perlawanan masyarakat Jakarta yang mendambakan ketidakpura-puraan, teriak tentang ayat suci tetapi korupsi, menyerukan persatuan tetapi rasis, dan membela rakyat tetapi tidak punya solusi. 

Ahok adalah ‘lenggaong’ kekinian, lenggaong yang muncul bukan dari rakyat yang kelaparan atau tertindas, melainkan dari penguasa yang melihat betapa berkaratnya birokrasi bobrok menyengsarakan rakyat, hukum yang amburadul, kebijakan tidak pro rakyat, dan kehidupan masyarakat Jakarta yang teracuni intoleransi. 

Aksi ‘dombreng’ juga dilakukan Ahok dengan memecat ribuan pejabat yang korupsi dan tidak becus melayani rakyat, mengusir mereka yang menduduki tanah negara dan melawan kelompok-kelompok yang menciderai konstitusi apa pun agamanya. 

Terlepas dari tindakan Ahok yang menimbulkan perdebatan di masyarakat, suka atau tidak suka Jakarta memerlukan kepemimpinan yang radikal. Pemimpin yang urat nyalinya putus demi tegaknya hukum dan kesejahteraan  rakyat. 

Andai Bung Karno masih hidup dan melihat aksi Ahok saat ini, tentu beliau akan bertanya kepada Ahok, pertanyaan yang sama ketika beliau berdiri di hadapan ribuan rakyat Tegal untuk mengakhiri Peristiwa Tiga Daerah. 

Kata Bung Karno kepada Ahok “Ahok, apakah kamu akan mendirikan negara Jakarta? Jawab Ahok “Tidak Bung, saya hanya tunduk pada konstitusi bukan kitab suci!” itulah Ahok, lenggaong kekinian yang menjadi magnet perubahan tidak hanya di Jakarta tetapi Indonesia.

Penulis : Didik Fitriyanto

Share this article :
Comments
0 Comments

Posting Komentar
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. TPQ Raudlotul Muhlisin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger